Jumat, 19 Agustus 2011

~~ Kerinduan Jiwa ~~

Sebuah Kolaborasi Kusnadi Arraihan dan Galih Sundari


Dentang waktu bagaikan genta yang tiba-tiba membahana, menyadarkan betapa masa telah tertinggal sedemikian jauh. Jejak kenangan hanya tinggal semacam berkas membisu, hanya sanggup menyimpan , lalu musim silih berganti membiarkan semua rasa tanpa peta, garis-garis penghubung dalam jalinan cerita yang terkisah, hanya selaksa babak tanpa episode yang memanjang.

Ditengah hamparan padang ilalang, angin bulan Mei itu menderu, terasakan menembus kulit, hawa kering sisa musim kemarau membias di sekitar poripori. Di kejauhan bebukitan membiru, memanjang dari timur laut kearah tenggara.  Senja itu hamparan tubuh bebukitan itu seperti menyimpan resah berkepanjangan.  Suara sekawanan burung kuntul pulang membelah awan, tak terjamah rasa, bahagiakah mereka, nestapakah yang bergelayutan? Semua serba tak teraba.

Sedemikian rasa yang memancar dari wajah perempuan itu.  Murung. Sepertinya senja kelam ini terbenam pada hamparan wajah itu. Tangannya yang pasi oleh hempasan hawa sejuk memegang kulit batang pohon yang menua itu. Ditatapnya wajah lelaki itu, wajah yang menyimpan demikian banyak risalah. Matanya menatap tajam. Bukan tegar. Justru menahan gerimis yang nyaris jatuh.  Perlahan suaranya bergema,


kepada sebuah risau merisalah pada titiktitik hujan
harus seberapa genggam kuremas lembarlembar waktu
agar hasrat tak lagi menyeret galau akan dirimu

hingga rimbun membelukar ditiap rindu
tak kah kau tau, betapa cinta adalah waktu tak berujung
dan derasmu seakan tak hendak memahami
meski sesekali sapa nyaringmu sadarkanku
namun aku tak pernah tau
kepada siapa kumenambat rasa

Lelaki dengan gelombang rambut sebahu itu terpaku.  Membaca jaman dan musim. Menekuri katakata yang saling berkelabat, seakan menerima muntahan resah perempuan yang telah lama menjadi kekasih dalam puisi-puisinya. Tatapannya yang teguh kearah bebukitan itu, mengiringi lamat suaranya bersama deru angin

berkejaran bayang  tentang impian
yang mendadak patah oleh deru angin malam dari utara
biusnya mengurung ketika kamus tak lagi mampu
menterjemahkan gerimis pada wajahmu
musim semi kian pendek terpenggal harap dan kecemasan
dan dermaga itu kini hanya semacam dinding kesunyian
puisi kitapun tak sanggup singgah

Perempuan itu serta merta membalas larik  lelaki kehidupannya, yang kini membuat airmatanya berlimpahan


kepada cinta yang memilin di helai waktu
rindu terkungkung di secawan awanawan berarak
kini aku beku memaku pada pukauan kuncup bunga
dan kujuntai berdepa harap pada jejak gelombang
agar kau temukan penandaku didinding sunyi
lalu berteduh pada serimbun impian
yang disetiap pagi terhempas, luruh jiwaku

Lelaki itu, dalam  sepersekian detik meraih pundak perempuan yang telah demikian banyak mengalirkan kerinduan pada jiwanya.  Perempuan itu rebah jiwa, tangispun pecah.  Dan lelaki itu menahan gejolak magma yang mendorong naik dari rongga dadanya, lalu erupsi itu menyuarakan kesahnya 


biarkan ombak  bergulung melepas penatnya pada pantai
biarkan suara persetubuhan hujan dan halilintar bergemuruh
biarkan kerinduan ini berjarak dan meruang, tanpa peta
karena seluruh catatan senja itu tetap menggetarkan tanpa tepi

Senjapun pasrah dirampas malam. Bebukitan itu menghitam karena ketiadaan cahaya. Malampun turun dengan sangat rahasia.



 Mei 2011

Catatan : Puisi kolaborasi  Kusnadi Arraihan dan Galih Sundari.  Ditata dalam bentuk kisah fiktif oleh Kusnadi Arraihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar