Jumat, 19 Agustus 2011

Sungguh pagi ini masih tertambat pada sepi,
menunggu terbuka hangat mentari dan
tepuk riang burung-burung pagi.
Dia belum ada pagi ini,
masih terlelap dalam gamang mimpi malam
...dan percik-percik birahi tengah malam
yang cabul dan penuh kepalsuan.
Dia tak ada, mati
terderak dalam bisu kebinasaan
manusianya terampas setan ….
Benar kata Ibuku “dia tak berhak membaca pagi “

bingkisan cantik dari sang Amin

Tak terhitung dedaun rasa
Yang gugur dari reranting usia
Mengecup kening sua
Yang begitu menggoda
...
Perlahan
Jurang-jurang luka
Berganti alamat-alamat doa
Hadirkan segala keteduhan

Kini aku mengerti
Prasasti mimpi
Dalam lemari sunyi
Tak hanya abadi dalam imaji

Almanak nurani
Tandai sejarah baru
Perburuan waktu
Kencan bersama Ilahi

Kini aku semakin paham
Di hari ulang tahun yang kesekian
Ketabahan dan keihlasan
Semakin karib hadirkan tentram

aku hanya mampu mengirim doa
tanpa semoga
sebab pasti
adalah Rahmat-Nya

Dari sudut kota Palembang
Ku ucapkan..
SELAMAT MENGENANG HARI KELAHIRAN, SAHABATKU.

~~ Kerinduan Jiwa ~~

Sebuah Kolaborasi Kusnadi Arraihan dan Galih Sundari


Dentang waktu bagaikan genta yang tiba-tiba membahana, menyadarkan betapa masa telah tertinggal sedemikian jauh. Jejak kenangan hanya tinggal semacam berkas membisu, hanya sanggup menyimpan , lalu musim silih berganti membiarkan semua rasa tanpa peta, garis-garis penghubung dalam jalinan cerita yang terkisah, hanya selaksa babak tanpa episode yang memanjang.

Ditengah hamparan padang ilalang, angin bulan Mei itu menderu, terasakan menembus kulit, hawa kering sisa musim kemarau membias di sekitar poripori. Di kejauhan bebukitan membiru, memanjang dari timur laut kearah tenggara.  Senja itu hamparan tubuh bebukitan itu seperti menyimpan resah berkepanjangan.  Suara sekawanan burung kuntul pulang membelah awan, tak terjamah rasa, bahagiakah mereka, nestapakah yang bergelayutan? Semua serba tak teraba.

Sedemikian rasa yang memancar dari wajah perempuan itu.  Murung. Sepertinya senja kelam ini terbenam pada hamparan wajah itu. Tangannya yang pasi oleh hempasan hawa sejuk memegang kulit batang pohon yang menua itu. Ditatapnya wajah lelaki itu, wajah yang menyimpan demikian banyak risalah. Matanya menatap tajam. Bukan tegar. Justru menahan gerimis yang nyaris jatuh.  Perlahan suaranya bergema,


kepada sebuah risau merisalah pada titiktitik hujan
harus seberapa genggam kuremas lembarlembar waktu
agar hasrat tak lagi menyeret galau akan dirimu

hingga rimbun membelukar ditiap rindu
tak kah kau tau, betapa cinta adalah waktu tak berujung
dan derasmu seakan tak hendak memahami
meski sesekali sapa nyaringmu sadarkanku
namun aku tak pernah tau
kepada siapa kumenambat rasa

Lelaki dengan gelombang rambut sebahu itu terpaku.  Membaca jaman dan musim. Menekuri katakata yang saling berkelabat, seakan menerima muntahan resah perempuan yang telah lama menjadi kekasih dalam puisi-puisinya. Tatapannya yang teguh kearah bebukitan itu, mengiringi lamat suaranya bersama deru angin

berkejaran bayang  tentang impian
yang mendadak patah oleh deru angin malam dari utara
biusnya mengurung ketika kamus tak lagi mampu
menterjemahkan gerimis pada wajahmu
musim semi kian pendek terpenggal harap dan kecemasan
dan dermaga itu kini hanya semacam dinding kesunyian
puisi kitapun tak sanggup singgah

Perempuan itu serta merta membalas larik  lelaki kehidupannya, yang kini membuat airmatanya berlimpahan


kepada cinta yang memilin di helai waktu
rindu terkungkung di secawan awanawan berarak
kini aku beku memaku pada pukauan kuncup bunga
dan kujuntai berdepa harap pada jejak gelombang
agar kau temukan penandaku didinding sunyi
lalu berteduh pada serimbun impian
yang disetiap pagi terhempas, luruh jiwaku

Lelaki itu, dalam  sepersekian detik meraih pundak perempuan yang telah demikian banyak mengalirkan kerinduan pada jiwanya.  Perempuan itu rebah jiwa, tangispun pecah.  Dan lelaki itu menahan gejolak magma yang mendorong naik dari rongga dadanya, lalu erupsi itu menyuarakan kesahnya 


biarkan ombak  bergulung melepas penatnya pada pantai
biarkan suara persetubuhan hujan dan halilintar bergemuruh
biarkan kerinduan ini berjarak dan meruang, tanpa peta
karena seluruh catatan senja itu tetap menggetarkan tanpa tepi

Senjapun pasrah dirampas malam. Bebukitan itu menghitam karena ketiadaan cahaya. Malampun turun dengan sangat rahasia.



 Mei 2011

Catatan : Puisi kolaborasi  Kusnadi Arraihan dan Galih Sundari.  Ditata dalam bentuk kisah fiktif oleh Kusnadi Arraihan.

Kado kecil buat Galih Sundari oleh Rini Intama pada 12 Agustus 2011 jam 18:52

Galih,
Ada butiran tasbih hingga rindurindu yang kau kirim
dan butiran bening air mata jatuh haru
lalu kita tertawa saat gerbang taman menebar wewangi bunga
karena di sana cerita tentang  kita mengalir

Galih,
ada doa kecilku hari ini
tentang nikmatnya puasa dan sajadah yang kau  gelar kemarin
dan itu selalu kau ingatkan padaku tentang matamata yang menepi karang
menunggu musim hingga rinduku menyala lagi

Galih,
Selamat Ulang Tahun Semoga Allah Selalu melindungimu. Amin
dan setumpuk rindu itu masih kusimpan dengan baik

Rini Intama, 12 Agustus 2011


Pada persahabatan kita di Taman bunga itu Sth Fauzia, Bening Hati, galih Sundari, Rini Intama

Kamis, 18 Agustus 2011

Milad Pelangi Hati oleh Nabila Dewi Gayatri pada 13 Agustus 2011 jam 12:07

(terhatur saudariku yang sangat saya cintai, Galih Sundari)
kau yang senantiasa meletupkan pijar
memberi cinta yang tak pernah pudar
aku mengenalmu, mencintamu hingga bergetargetar
ruang dan waktu penuh gelegar!
di miladmu ini syukur subur menghablur
Dia menumpahkan berkah, lindungan dan ridha sebesar maksyar
kuamini titah yang maha benar
mawujud nur yang memancarmancar
ukhti, pelangi di hatimu semakin berkibar
nyala cahaya cinta menjulang, Allahu Akbar!
~ Salam Cinta Pencinta Cinta Bercinta ~